"Welcome to : Maria Fransiska's blog for Kapita Selekta"

There are review and reflection of the lessons in Faculty of Communication at Tarumanagara University, West Region of Jakarta

Sabtu, 26 Maret 2011

IKLAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK

Oleh : Ibu Endah Muwarni
23 Maret 2011

Iklan Ada Dimana-Mana

Iklan ada dimana-mana, seakan mengikuti kemana saja kita pergi sepanjang hari. Di rumah, jalanan, pasar, kantor, kampus, sekolah, stasiun, halte bus, bandara, taksi, lift maupun toilet kita selalu bertemu iklan. Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu, sehingga memungkinkan untuk mampu menembus hampir semua celah kehidupan setiap orang. Pengiklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.

Pergeseran Fungsi iklan

Iklan tidak hanya sekedar bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli suatu produk. Akan tetapi lebih dari itu, iklan turut berpengaruh dalam membentuk sistem nilai, gaya hidup maupun selera budaya tertentu. Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang harus dijualnya, tetapi mencoba membuat bagaimana sifat atau ciri produk tersebut mempunyai arti sesuatu bagi kita dalam konteks inilah mendifinisikan image tentang 'arti tertentu yang diperoleh' ketika orang menggunakan produk tersebut.Proses ini oleh Williamson (1978 :20) disebut sebagai using product is currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai 'uang' untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli.
Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi dua :
• Fungsi Informasional ~ iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk.
• Fungsi Transformational, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses dan sebagainya.


Iklan Dalam Konteks Pemikiran Ilmu Sosial

Menurut Baudrillard : Iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society. Obyek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh sebuah sistem tanda (Sign Systems). Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisa mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer.
Barthes menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli linguistik. Barthes tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media dan fenomena sosial lainnya. Makana ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotik sebagai kerangka analisa. Barthes menyumbangkan pemikiran mengenai pesan media dalam reproduksi pesan-pesan ideologis.
Fokus pemikiran Hall dalam studi media massa mencakup hubngan antara produk budaya yang secara ideologis dikodekan dengan strategi khalayak untuk menkfmc dekode (decoding) pesan-pesan tersebut. Pemikiran Hall menjadi semacam kritik bagi posisi khalayak yang lemah dalam berbagai studi mengenai dampak media.

Bagaimana Para Ilmuan Memahami Iklan?
Baudrillard : Iklan adalah bentuk dari sign system yang mengatur makna dari obyek atau komoditas. Iklan juga dipandang sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme konsumen (comsumer capitalism).
Barthes : Iklan juga dilihat sebagai signs yang mengatur makna yang ingin disampikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat senetral mungkin, proses signifikasi (pembuatan tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth
• Pemikiran Hall relevan untuk dijadikan basis analisa terhadap iklan sebagai bagian dari produksi pesan ideologis. Dalam hal ini, Hall melihat media/iklan sebagai konstruksi dari subjektivitas (Construction of subjectivity)

Bagaimana Iklan memproduksi pesan?

Baudrillard iklan sebagai wacana yang dikodekan (coded discourse)dan melekat pada sebuah produk, tidak memiliki hubungan dengan realitas (hyperreal).Barthes menganggap bahwa tanda masih bisa merepresentasikan realitas (signifikasi tingkat pertama atau denotasi). Sedangkan pada signifikasi tingkat kedua (konotasi),tanda bisa merepresentasikan lewat situasi kultural atau sosial yang sama. Sementara sebagai sebuah myth,signs dalam iklan dianggap merepresentasikan pesan ideologis dari isi pembuat iklan (dalam konteks ini, adalah kelas borjouis).

Hall membagi dua aktor/fungsi, yaitu encoder-decoder/encoding-decoding. Media/pengiklan adalah encoder yang melakukan pengkodean pesan-pesan, sesuai dengan norma-norma professional (ata estetik, dalam konteks pengiklan) dan ideology yang hendak disampaikannya. Ketika pesan-pesan tersebut dikodekan secara simbolis khalayak memiliki kebebasan untuk melakukan decoding dari pesan-pesan tersebut.

Bagaimana Pesan Diterima khalayak?
Hall menegaskan bahwa melalui kode-kode dalam sebuah pesan, manusia sadar akan dirinya dan kebutuhan-kebutuhan. Kode-kode tersebut secara hirarkis memiliki tingkatan yang digunakan untuk menandakan perbedaan-perbedaan (distinctions) dari status dan kelas. Barthes berpendapat bahwa iklan memiliki berbagai makna sesuai dengan tingkat signifikasi yang dilakukan oleh khalayk. Dengan demikian makna dari pesan yang disampaikan oleh iklan menjadi sangat majemuk. Hall melihat ada tiga kemungkinan dari resepsi khalayak mengenai pesan iklan yang diterima, yaitu :
1. Dominant Hegemonic : apabila khalayk menafsirkan pesan sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh media/pengiklan;
2. Negotiated : apabila khalayak mengambil posisi untuk secara terbatas (subtly) mengkontestasi makna pesan;
3. Oppositional : apabila khalayk mengambil posisi yang berseberanagn atau menolak sama sekali pesan yang disampikan.
Ketiga kemungkinan proses decoding yang dilakukan khalayak dipengaruhi oleh bdaya, diposisi politik, hubungan mereka terhadap jaringan kekuasaan yang lebih luas dan akses terhadap teknologi media massa (radio, televisi, internet, dsb).

Memahami Iklan dengan konsep kekerasan simbolik Bourdieu

Bagi Bourdieu, seluruh tindakan pedagogis baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media atau dimanapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan sistem nilai atas pelaku lainnya, sebuah kekuasaan yang berakar pada relasi kuasa antara kelas-kelas dan atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.

Diasumsikan bahwa media dan iklan merupakan saran yang digunakan untuk melakukan tindakan pedagogis dari kelas atau kelompok sosial tertentu arena iklan tidak hanya menjadi ajang konstestasi image simbolik produk yang ingin dipasarkan namun juga image simbolik realitas sosial secara luas.

Iklan menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan sistem kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai dengan kepentingan kelas atau kelompok dominan. Image-image simbolik yang diproduksi iklan seperti misalnya kebahagiaan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan sistem nilai yang dimiliki kelas atau kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat.

Proses penanaman nilai melalui iklan dapat membentuk habitus tentang sistem nilai tersebut. Sehingga iklan tidak hanya menciptakan subyek yang dapat meregulasi diri terkait klasifikasi dunia sosial, disini kemudian terjadilah kekerasan simbolik.

Image-image yang diproduksi iklan adalah rindakan pedagogis yang dapat memaksakan secara halus nilai-nilai, standar-standar dan selera kebudayaan kepada masyarakat atau sekurang-kurangnya memantapkan preferensi kebudayaan mereka sebagai sebagai standar dari apa yang dianggap tertinggi, terbaik dan paling absah. Dominasi kelas terjadi tatkala pengetahuan, gaya hidup, selera, penilaian estetika dan tata cara sosial dari kelas yang dominan menjadi absah dan dominan secara sosial.

Selasa, 22 Maret 2011

CONSUMER BEHAVIOUR

Consumer Behaviour (Perilaku Konsumen)

Oleh : Bpk. Chairy
Rabu, 16 Maret 2011

Sikap adalah cara seseorang menanggapi atau memikirkan mengenai sesuatu. Sikap berbeda dengan tingkah laku, contohnya adalah kita membungkuk pada yang lebih tua, itu perilaku, sedangkan contoh sifat adalah apa yang kita rasakan atau fikir mengenai orang tua yang tersebut.

Reciprocity : timbal balik. "apabila ingin disayang, maka sayangilah orang".

Scarity : sesuatu yang langka bisa menjadi lebih berharga (sengaja dibuat langka = artificial scarity). contoh scarity adalah motor harley davidson adalah motor yang sebenarnya biasa saja dengan motor lainnya, tapi dengan strategi penjualan yang baik ia menjadi diminati oraang-orang kaya. sedangkan contoh dari artificial scarity adalah motor harley davidson, begitu mahal namun di gandrungi, hal ini disebabkan oleh dibuatnya kesan langka, dan prestisius bila memilikinya.

Authority : otoritas yang menyampaikan pesan. seperti pengunguman dari perusahaan lagnsung.

Consistency Liking : setuju dengan orang yang kita suka. Contoh : ketika kita ditawari barang oleh SPG yang tampan atau cantik, otomatis kita jadi tertarik melihat barangnya dan kemungkinan membeli.
Consensus : mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh orang sebelum kita. Contoh : dalam sumbangan RT, kita cenderung untuk melihat orang-orang yang sudah menyumbang sebelum kita.

Elemen-elemen komunikasi :

1. Message Initiator / the sender
• pengiklan menggunakan para ahli untu mengiklankan produk yang beresiko tinggi, seperti iklan pasta gigi menggunakan model dokter.
• pengiklan menggunakan artis dalam iklannya untuk mengiklankan iklan yang high social risk
• pengiklan memakai siapa saja dalam beriklan saat memasarkan everyday product
• dua karakteristik source yang penting adalah : kredibilitas dan daya tarik. yaitu :*harus bisa match antara spokesperson dan endorsers, jangan memakai sembarang selebriti untuk memasarkan produk. contohnya jangan mengunakan tukul untuk beriklan laptop, hal ini dikarenakankredibilitas pesan tergantung dari sumber yang berbicara *bisa sumber dibagi menjadi 2 : knowledge bias (pengetahuan sumber mengenai topic tidak akurat) dan reporting bias (mengetahui dan bisa memberitahu alasan mengapa produk yang ditawarkan bagus.

2. Medium

3. Message
• Hype vs Buzz : Hype adalah propaganda dan Buzz adalah efek dari mulut ke mulut mengenai informasi yang diberikanThe corporate paradoks adalah semakin banyak propaganda yang dimainkan, semakin kostumer susah mempercayai yang ada
• Mengulang iklan dalam sehari seperti pedang bermata bandar, orang bisa menyukai, dan bisa tidak menyukai
• Three hit theory adalah iklan yang diulang 3 kali dalam suatu kali pemunculan
• One vs Twosided messages : One message adalah memberikan informasi manfaat dari produk, sedangkan two sided message adalah memberikan bad and good points dari produk yang ditawarkan
• Comparative advertising diluar negeri lebih dibebaskan daripada di Indonesia, namun comparative advertising ini membutuhkan data fakta yang jelas adanya dan boleh menyebutkan produk
• Framing message ada 2 : Positive (berupa manfaat dari produk) dan Negative (dimana sisi negatif akan muncul kalau tidak memakai produk yang disebutkan.

4. Target audience / the receiver

5. Feedback
Macam-macam appeal costumer :
1. Emotional appeal
2. Rational
3. Sexual appeal
4. Humorous appeal
5. Fear appeal.

Selasa, 15 Maret 2011

SIMBOL DAN ARSITEKTUR

Oleh :
Bapak Eduard Tjahjadi, Dipl.Ing.

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan (kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dsb), dan cara (bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi). Arsitektur prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktek-praktek, arsitektur berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap ini lah terdapat proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil yang sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figur penting, ia semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur Vernakular lahir dari pendekatan yang demikian dan hingga kini masih dilakukan di banyak bagian dunia.

Pada masa Pencerahan, humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan kepada arsitek-arsitek individual - Michaelangelo, Brunelleschi, Leonardo da Vinci - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek, maupun insinyur atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.
Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu (misalnya engineering), dan munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan menuju ke estetika. Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, Ecole des Beaux Arts di Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.
Sementara itu, Revolusi Industri membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.

Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan,arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Namun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan bangunan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan eksperimentasi gaya dekonstruktivis sekarang ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEK DI INDONESIA

Arsitek pertama Indonesia adalah Aboekasan Atmodirono (1860-1920). Ia lulus Sekolah Teknik Menengah Jurusan Bangunan (Middelbare Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja di Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum). Ia hadir di Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar calon ketua. Ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di tahun 1918, ia ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewakili Perhimpunan Pamong Praja Pribumi “Mangoenhardjo”.
Ketika kesempatan sekolah ke luar negeri terbuka bagi kaum bumiputera, Notodiningrat masuk sekolah tinggi teknik di Delft dan lulus sebagai insinyur sipil pertama Indonesia di tahun 1916. Ia juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia, cikal bakal Perhinpunan Indonesia). Insinyur sipil pada masa itu mampu menangani pekerjaan perencanaan dan pengawasan di bidang bangunan gedung, irigasi dan jalan raya. Karirnya dijalani di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Setelah masa kemerdekaan, Prof. Ir. Wreksodiningrat (alias Notodiningrat) ikut mendirikan Fakultas Teknik UGM dan menjadi Dekan (1947-1951).

Usai PD I, muncul tokoh nasional yang mengawali karirnya sebagai arsitek, yaitu Abikoesno Tjokrosujoso. Setelah lulus dari Koningin Emma School di Surabaya pada tahun 1917, ia secara otodidak meniti karir di bidang konstruksi. Belakangan ia dapat mengikuti ujian arsitek dan lulus di tahun 1921 (sumber lain mengatakan 1923 atau 1925). Disamping aktif di dunia politik (adik HOS Tjokroaminoto yang kemudian memimpin PSII) ia juga memiliki usaha aannemer dan pernah pula bekerja sebagai asisten bersama Moh. Soesilo (perencana kota Kebayoran Baru) di biro milik Thomas Karsten di Semarang. Setelah Indonesia merdeka, ia ditunjuk menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan RI yang pertama.

Di tahun 1920 Technische Hoogeschool di Bandung mulai beroperasi. Empat orang bumiputera pertama yang lulus dari sekolah itu (1926) adalah Anwari, Ondang, Soekarno dan Soetedjo. Soekarno, Proklamator dan Presiden RI I, menyebut dirinya insinyur-arsitek. Di awal karirnya, ia mendirikan biro insinyur pertama bumiputera bersama Anwari. Belakangan ia juga mendirikan biro insinyur bersama Rooseno. Pekerjaannya meliputi perencanaan dan sekaligus juga membangun rumah tinggal, pertokoan dsb. sebagai arsitek pemborong (aannemer).
Di era kemerdekaan, pekerjaan arsitek masih dilahirkan dari insinyur sipil lulusan TH Bandung (sekarang ITB), disamping para tenaga trampil yang menyebutkan dirinya arsitek (tingkat teratas dari seorang opzichter atau pengawas, antara lain dapat disebutkan nama Silaban dan Soedarsono). Untuk memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan jaman, maka baru di tahun 1950 dibentuk jurusan arsitektur agar segera lahir lulusan sarjana arsitektur Indonesia yang khusus menangani bangunan gedung. Pada tahun 1958 jurusan tersebut berhasil meluluskan 16 sarjana arsitektur pertama.

Seiring dengan pembangunan berbagai fasilitas modern di Indonesia, berbagai sayembara dilangsungkan untuk mendapatkan karya terbaik. Arsitek sebagai seorang ahli bangunan gedung mendapat tempat khusus di dunia konstruksi. Namanya sebagai individu menjadi jaminan kompetensi dan tanggung jawabnya. Sebagian besar usaha di bidang arsitektur didirikan sebagai sebuah biro atau firma (seperti advokat).

Sementara itu, kegiatan usaha praktek arsitek diarahkan menjadi perseroan terbatas, khususnya bagi mereka yang akan mengikuti proses pengadaan jasa di lingkungan pemerintah. Perkembangan ini secara perlahan-lahan mengubah sebutan “arsitek” menjadi “konsultan”. Akhir-akhir ini, telah dikembangkan pula sebutan “penyedia jasa” sebagaimana tercantum di dalam UU Jasa Konstruksi dan UU Bangunan Gedung. Sebutan “arsitek” serta merta menghilang dari tataran hukum dan pada gilirannya juga mengandung arti yang secara langsung mengubah esensi keprofesionalannya.

Dijelaskan pula dalam materi perkuliahannya, beliau menjelaskan bahwa arsitektur sebuah bangunan memiliki simbol dan makna tersendiri, bisa menjadi arsitektur simbol kekuasaan politik, ekonomi, kemajuan teknologi, dan genderisasi.

menurut saya berdasarkan materi perkuliahan kali ini adalah dibutuhkannya sebuah aliran komunikasi yang dapat mendeskripsikan dan menjelaskan apa bangunan itu, bagaimana proses pembangunannya, daya tarik yang ditonjolkan dan kelebihannya dari bangunan-bangunan lainnya..

jika hanya mengandalkan keindahan estetika fisik dari bangunan belum tentu masyarakat luas dapat menangkap makna simbol dibalik kemegahan bangunan maka sangat dibutuhkan tata bahasa komunikasi yang merepresntasikan bangunan tersebut melalui kalimat-kalimat yang lebih sederhana..

Sabtu, 05 Maret 2011

SEMIOTIK

Rabu, 2 Maret 2011
oleh Bpk. Kurnia Setiawan

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) .
Ketika berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan yang disampaikan, kurang lebih secara tepat.
Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka harus dibuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang dibuat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang dibuat dalam pesan.

Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistem tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi).
Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda.

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).

Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.
Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics).

Roland Barthes merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Semiotika dan Komunikasi
Sekadar untuk sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain.

Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.

Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna.
Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang.
Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.


Banyak penelitian yang menggunakan teori semiotika sebagai acuan menganalisis suatu fenomena. sama halnya dengan bahasa, penerjemahan simbol/ tanda ini merupakan dasar dari perkembangan sistem komunikasi.
tergantung dari makna yang terkandung dalam tanda (penanda/ pertanda) dan bagaimana interpretasi kita untuk memaknainya.
kehidupan sehari-hari kita juga penuh akan tanda atau simbol, baik verbal, non verbal, audio, visual, dan audio-visual.