"Welcome to : Maria Fransiska's blog for Kapita Selekta"

There are review and reflection of the lessons in Faculty of Communication at Tarumanagara University, West Region of Jakarta

Jumat, 29 Oktober 2010

ARSITEKTUR & SIMBOL


Oleh : Bapak Eduard Tjahyadi
Selasa 28 September 2010 dan Selasa 5 Oktober 2010

Symbol :
             Etymology:
           •symbolum (Latin)
               •symbolon – σύμβολον (Greek )
 yaitu:
Objek, gambar, tulisan, suara, atau tanda tertentu yang mewakili sesuatu yang lain oleh asosiasi, kemiripan, atau konvensi.
Merupakan salah satu cara manusiamengekspresikan sesuatu yang telah berlangsung disemuakebudayaan sepanjang waktu, Mencerminkan intelektualitas, emosi dan spririt manusia, Memungkinkan terjadinya sebagian besar hubungan komunikasi manusia dalam bentuk tertulis maupun verbal, gambar ataupun isyarat dan  Merupakan bahasa universal lintas budaya dan zaman.

 contohnya...
Kenneth Burke described homo sapien as
"symbol-using, symbol making, and [a] symbol misusing animal"


Jenis konstruk simbol

Makna dari suatu simbol, dapat dilihat berdasarkan jenis ”construct” atau gagasan yang mendasari timbulnya simbol tersebut. Cara yang dilakukan disini adalah dengan membuat klasifikasi, mengamari bentukan yang terjadi, kemudian menguraikan isu simbol apa yang melatarbelakangi bentukan tersebut. Berikut ini diuraikan beberapa isu simbol yang mewakili pokok-pokok seperti : pertama, bentukan fisik, kedua, konsepsi, ketiga, peristiwa.

Pertama, simbol yang mewakili bentukan fisik. Penggunaan pohon beringin pada alun-alun kota di pulau jawa, dilatar belakangi olehbentuk fisik dari puhon itu sendiri yang seolah-olah berupa payng besar untuk berteduh dan dianggap sebagai pengayom. Sehingga bangunan pemerintahan yang biasanya berada di sekitar alun-alun dianggap dapat mengayomi masyarakatnya.

Kedua, simbol yang mewakili suatu konsep. Bentukan kampung dan kota tradisional di Indonesia, umumnya dipengaruhi oleh simbol konsepsi makna arah yang sangat disakralkan. Sedangkan tata bangunan tradisional umumnya dipengaruhi oleh ”simbol konsepsi modul sakral” dimana aturan hitungan dan hirarki dapat terbaca jelas pada bentukan bangunan rumah kudus. Menurut buku Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus, rumah tersebut berbentuk "Joglo Pencu" yang berdiri di atas landasan lima trap yang disebut sebagai "bancik kapisan" (trap terbawah), lalu bancik kapindo, bancik katelu, jogan jogo satru (ruang lantai depan) dan jogan lebet (trap lantai ruang dalam). Maksudnya adalah agar pemilik rumah selalu taat melakukan lima rukun Islam. 

Adapun kerangka bangunan terdiri dari Soko Guru berupa empat tiang utama (sebagai bagian dari Joglo) dan Soko Geder (satu tiang). Diatas soko guru terdapat pengeret tumpang songo/tumpang sembilan (tidak harus sembilan, bisa juga hanya tumpang telu (tumpang tiga), disesuaikan dengan kemampuan pemilik rumah) sebagai tumpuan konstruksi atapnya.  Konstruksi atap rumah adat menunjukkan tingkat ekonomi dari pemiliknya, karena biaya pembuatan atap adalah paling mahal daripada bagian rumah lainnya. Biaya mahal tersebut disebabkan karena kesempurnaan motif-motifnya dan gaya ukirannya serta faktor kesulitan dalam pembuatannya.  Atap model pencunya, dahulunya dibuat dari rumbia (semacam daun palem) tetapi kemudian lebih banyak dibuat dari genteng. Genteng Kudus sering mempunyai motif khusus tumbuh-tumbuhan, dan terdapat model genteng gajah (dengan ornamen gajah) di atas wuwungan (bagian paling atas dari genting) dan genteng raja yang bercorak sangat indah. Ruang dalam (jogan lebet) terdiri dari beberapa ruang seperti ruang keluarga terletak tepat di bawah joglo, kemudian kamar-kamar untuk tidur dan gedongan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka dan kekayaan.  Gedongan terletak di antara ruang dalam dan pawon (dapur) yang berada di samping kiri atau kanan rumah. Pawon ini selain untuk kegiatan memasak dan ruang makan, juga dimanfaatkan untuk tempat kegiatan keluarga, seperti pembuatan produk konveksi dan industri rumah tangga lainnya. Di sebelah depan pawon ini tepatnya di bagian tepi halaman terdapat sumur lengkap dengan kamar mandi. Pintu-pintu pada rumah adat Kudus ada beberapa tipe. Ada yang terdiri dari satu daun pintu, dua daun pintu dan pintu sorong. Satu daun pintu kebanyakan untuk di dapur (pawon) , dua daun pintu untuk di gebyok dan pintu sorong ada di depan. 

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa rumah adat Kudus selalu dibangun menghadap ke arah Selatan yang konon penuh dengan perlambang filosofi dalam membangun rumah tinggal dan berdasarkan perhitungan rasional hukum alam (falak). 

Ketiga, simbol peristiwa. Pada simbol yang dilatar belakangi oleh suatu peristiwa dapat di telusuri lewat terciptanya tipe bangunan seperti ’duck & decorated shed’ yang merupakan daya tarik Las Vegas. Terciptanya tipe bangunan ini dilatarbelakangi isu peristiwa kontemporer mengenai ”kebebasan peraturan”.

Arsitektur:
Architectura – Latin
arkitektonρχιτεκτονική – arkhitektonike – Greek

artinya :
kepala atau pemimpin dan pembangun atau tukang kayu(Τεκτονική)
adalah :
seni dan ilmu merancang bangunan dan struktur fisik lainnya.

Arsitektur, dalam definisi yang lebih luas :
meliputi semua kegiatan desain :
•dari level mikro (desain bangunan atau bangun-bangunan, kompleks bangunan, desain furnitur)
•ke tingkat makro (desain perkotaan: kawasan, bagian kota, arsitektur lansekap)
saat ini, arsitektur dapat merujuk kepada aktivitas merancang sistem apapun dan sering digunakan dalam dunia TI.

Karya arsitektur sering dianggap sebagai :
karya seni 
simbol politik dan budaya

Sejarah peradaban manusia sering diidentikkan dengan karya arsitektur yang masih
ada sebagai bagian perjalanan peradaban manusia itu sendiri.

Kamis, 07 Oktober 2010

SEMIOTIK & SEMIOLOGI


Definisi semiologi yang paling umum adalah ilmu tentang tanda (berasal dari bahasa Yunani semeîonn yang berarti “tanda”). Nama ini diusulkan oleh Ferdinand de Saussure dalam Cours de lingusitique générale. Nama lain yang juga lazim dipakai untuk menunjukan ilmu tentang tanda ini adalah semiotika, yang diusulkan oleh Charles Sanders Peirce.Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Dengan definisi yang sangat umum seperti itu, maka semiologi menjadi ekpansionis: ilmu apapun akan tercakup di dalamnya, karena pada dasarnya semua ilmu mempelajari tanda-tanda. Umberto Eco mengaitkan semiotika dengan seluruh proses kultural dalam proses komukasi. Menurutnya, semiotika harus mempertimbangkan teori kode dan teori produksi tanda. Untuk sampai pada definisi yang lebih tepat mengenai fungsi tanda dan model produksi tanda misalnya, secara khusus semiotika harus memperhitungkan arti tanda tipologi tanda (Nöth, 1990: 326)
     Mengikuti definisi semiologi yang diberikan oleh Fiske, yaitu bahwa semiologi merupakan ilmu yang memiliki tiga ranah utama, yaitu: tanda dalam dirinya sendiri, kode-kode atau sistem tempat tanda itu diorganisasikan, dan kebudayaan tempat kode-kode dan tanda-tanda itu beroperasi (Fiske, 1990: 40)discipline studying everything which can be used in order to lie(Eco, 1976: 7).

Senin, 04 Oktober 2010

KEBEBASAN PERS (FREEDOM OF PRESS)


KEBEBASAN PERS (FREEDOM OF PRESS)
Oleh: Pak Ahmad Junaidi

Perkuliahan Kapita Selekta pada tanggal 1 Oktober 2010, membahas materi tentang KEBEBASAN PERS (FREEDOM OF PRESS).
Negara Indonesia mempunyai 3 pilar kekuasaan dalam Demokrasi, yaitu:
1.        1.  Eksekutif adalah Pemerintah/ Presiden,
2.        2.  Legislatif adalah Lembaga Tinggi Negara (DPR),
3.        3. Yudikatif adalah Lembaga Peradilan Negara.
Dan kemudian dengan perkembangan peraturan dan perundang-undangan lahirlah pilar ke-4 yang diduduki oleh Pers sebagai fungsi control terhadap kinerja dari 3 pilar yang lainnya tersebut.

Menurut Thomas Jefferson, “Bila disuruh memilih adanya pers tanpa pemerintahan atau pemerintahan tanpa pers, maka saya akan memilih adanya pers tanpa pemerintahan!”.


Ringkasan Sejarah Perkembangan Kebebasan Pers Indonesia:
1.   
                *) Zaman Penjajahan,

2.          **) Zaman Soekarno (Orde Lama), 


         ***) Zaman Soeharto (Orde Baru),

4.               ****) Zaman Reformasi.


Dari zaman penjajahan colonial Belanda hingga zaman Soeharto (Orde Baru), masih diberlakukan pembredelan pers, yakni pencabutan paksa hak percetakan dan penerbitan suatu surat kabar atau media massa Indonesia.


Berikut adalah contoh-contoh tindak pembredelan pers Indonesia:
-     --1933 = Harian “Swara Oemoem” di Surabaya;
-     --1957 = 10 surat kabar dibredel antara lain “Indonesia Raya” yang dipimpin oleh Mochtar Lubis;
-     --1974 untuk kedua kalinya “Indonesia Raya” kembali dibredel terkait dengan Peristiwa Malari yang      dipicu oleh investasi Jepang pada massa itu mendominasi perekonomian Indonesia;
-     --1994 = 3 media dilarang terbit dikarenakan memberitakan peristiwa tenggelamnya kapal yang dipesan oleh BJ. Habibie selaku Menristek.

Untuk mengkoordinasikan sejumlah wartawan Indonesia dibutuhkan sebuah organisasi. Maka lahirlah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1996 (Zaman Orde Baru) yang menjadi satu-satunya organisasi wartawan Indonesia dan terkesan pro pemerintah.
Kemudian terjadi pergelutan dalam dunia wartawan setelah Majalah Tempo dibredel banyak dari beberpa awak media Tempo bergabung menciptakan satu Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) yang kritis terhadap pemerintahan di Indonesia hingga sekarang.


Tanpa disangka-sangka, pers juga memiliki musuh yang menjadi hambatan bagi kebebasan pers tersebut, antara lain sebagai berikut:
-               Zaman Penjajahan, yang menjadi musuh pers adalah pemerintah Hindia Belanda.
-               Zaman Soekarno dan Soeharto, yang menjadi musuh pers adalah Negara. Dalam masa ini ada budaya “telepon” yang sangat terkenal, yaitu telepon dari Harmoko (Menteri Penerangan) yang berisikan tentang pelarangan penyiaran dan penerbitan berita di suatu media massa.
-               Zaman Reformasi, yang menjadi musuh pers adalah masyarakat yang tergabung dalam kelompok garis keras yang selalu bertindak anarkis, seperti FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Front Betawi Rempug).